Nurcholish Madjid
Sebetulnya
tidak ada masalah apabila kita sebagai orang muslim berpedoman pada ajaran
Islam, memandang segala segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk
terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.
Saya
disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP, meskipun diformalkan oleh
Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi
sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa, NDP itu cukup tua.
Oleh karena itu, ada teman berbicara tentang NDP dan kemudian mengajukan
gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah-mengembangkan dan sebagainya,
maka saya selalu menjawab, dengan sendirinya memang mungkin untuk diubah dalam
arti dikembangkan.
Values (nilai-.nilai) tentu saja
tidak berubah-ubah. Kalau disitu misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak
berubah-ubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada impliksi NDP itu
mungkin bahkan bisa diubah. Sebab, sepanjang sejarah, Tauhid wujudnya sama, yaitu
paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu
berubah-ubah.
Kita
bisa lihat tekanan misi pada rasul-rasul, itu berubah. misalnya Isa Al-Masih
(Yesus Kristus) datang untuk mengubah Taurat. (Agar aku halalkan bagi kamu sebagian yang diharamkan
bagi kamu). Nabi Isa datang menghalalkan sebagian yang haramkan pada
Perjanjian Lama. Jadi, implikasi Tauhid itu berubah-ubah mengikuti perkembangan
zaman. Sebab itu juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu
sendiri memang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai
seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan dan
implikasinya, maka ada ruang untuk pengembangan-pengembangan. Tidak hanya
namanya saja diubah NDP ke NIK (lalu NDP kembali-pen). Pengembangan adalah
tugas/pikiran yang sah dari adik-adik HMI. Maka dari itu saya persilahkan,
kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.
NDP, Kesimpulan Suatu Perjalanan
Saya
ingin bercerita sedikit. Mungkin ada gunanya walaupun cerita ringan saja. Yaitu
bagaimana NDP itu lahir.
Ahmad
Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam yang sangat kontroversial itu
menulis bahwa saya dalam tahun 1968 diundang untuk mengunjungi
universitas-universitas di Amerika yang waktu itu merupakan pusat-pusat
kegiatan mahasiswa. Dan kepergian saya ke Amerika itu mengubah banyak sekali
pendirian saya, begitu kata Wahib dalam bukunya itu, maaf saja, tidak benar.
Jadi di sini Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai dari Amerika itu
banyak sekalii mempengaruhi saya, tetapi bukan pengalaman di Amerika yang
mempengaruhi saya, melainkan justru di Timur Tengah.
Begini
ceritanya. Waktu itu terus terang saja sebetulnya pemerintah Amerika sudah lama
melihat potensi HMI disini (tentu saja pemerintah Amerika seperti yang diwakili
oleh Kedutaan Amerika di sini). Mereka sudah tahu situasi politik Indonesia
pada zaman Orde Lama, ketika Bung Karno mempermainkan atau sebetulnya boleh
saja dikatakan melakukan politik devide
et impera, antara komunis dan ABRI terutama AD. Bagaimana AD itu sangat
banyak bekerja dengan kita. Ini banyak dibaca oleh pemerintah seperti Amerika. Dan karena itu banyak sekali pendekatan-pendekatan dari orang kedutaan Amerika itu ke PB HMI. Sebetulnya
sudah lama mereka menginginkan supaya ada tokoh-tokoh HMI yang melihat-lihat
Amerika, tetapi memang waktu itu beluin banyak orang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga saya
menjadi orang mendapat kesempatan
pertama.
Kunjungan
saya ke Amerika, sesuai dengan Undangan, hanya berlangsung satu bulan seminggu
atau satu bulan dua minggu. Sistemnya semua dijamin; ada uang harian, uang perdien. Waktu itu dolar belum inflasi;
sehingga uang yang saya peroleh cukup besar, dan saya tentu bisa menghemat. Uang inilah yang saya pergunakan
untuk keliling Timur Tengah. Saya lakukan itu, secara sederhana.
Kita
di Indonesia selama ini selalu mengaku muslim dan mengklaim diri sebagai
pejuang-pejuang Islam. Untuk terlaksananya ajaran Islam, sekarang perlu melihat
sendiri bagaimana wujud Islam dalam praktik. Begitulah motif saya pergi ke
Timur Tengah. Meski kita tahu, Indonesia memang negara Muslim yang terbesar di
bumi, secara geografis paling jauh dari pusat-pusat Islam, yaitu Timur Tengah,
sehingga mghasilkan beberapa hal, misalnya Muslim Indonesia itu adalah termasuk
yang paling sedikit ter”arab”kan.
Barangkali
kita tidak menyadari banyak keunikan kita, sebagai bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan inilah bangsa Asia satu-satunya yang menuliskan bahasa nasionalnya
dengan huruf latin. Semua bangsa Asia menggunakan huruf nasionalnya
masing-masing. Hanya kita yang menggunakan huruf latin. Filipina memang, tetapi
Filipina belum bisa mengklaim mempunyai bahasa nasional. Bahasa Tagalog masih
merupakan bahasa Manila saja.
Kemudian
Indonesia satu-satunya bangsa Muslim juga yang menggunakan huruf latin untuk
bahasa nasionalnya. Semua bangsa muslim itu menggunakan hurup Arab, kecuali
tiga: Turki disebabkan revolusi Kemal, Bangladesh karena seperti bangsa Asia
lain mempunyai huruf sendiri yaitu huruf Bengali dan Indonesia dikarenakan
penjajahan. Jadi kita itu unik. Dari sudut pandangan dunia Islam,
Indonesia unik. Inilah bangsa Muslim yang kurang tahu huruf Arab, kira-kira
begitu. Jangankan orang Islam Pakistan, Afganistan dan sebagainya, sedangkan
orang India yang Islamnya minoritas, di sana pun mereka menggunak huruf Arab
untuk menuliskan bahasa Urdu, bahasa mereka. Semuanya begitu. Dari situ saja
boleh kita ambil satu kesimpulan bahwa ke-Islaman di Indonesia itu masih
demikian dangkal sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati
nilai-nilai Islam itu. Itulah yang mendorong saya pergi ke Timur Tengah.
Waktu
saya hendak ke Amerika, saya merasa ogah-ogahan.
Akan tetapi biarlah barangkali dari Amerika saya bisa ke Timur Tengah. Oleh
karena itu biarpun di Amerika, sudah kontak dengan orang-orang dari Timur
Tengah, yang kelak ketika saya ke Timur Tengah memang banyak sekali yang
menolong saya. Kunjungan saya ke Timur Tengah saya mulai dari Istanbul, kemudian ke Libanon. Waktu itu
tentu saat Libanon masih aman. Lalu ke Syiria, kemudian Irak, sehingga baru
pertama kalinya saya bertemu Abdurrahman Wahid. Dia yang menyambut. Karena terus terang, walaupun
sama-sama orang Jombang, saya belum pernah kenal. Karena keluarga saya Masyumi,
keluarga dia NU. Jadi baru bertemu di
Baghdad. Dia baik sekali, mengorganisir teman-teman Indonesia untuk mengambil
dan menemani saya ke stasiun bus dari Damaskus. Lalu saya ke Kuwait, dari
Kuwait ke Saudi Arabia melalui Tmur. Banyak sekali kenangan di situ. Ketika di
Riyadh, saya bertemu seseorang yang pernah saya kenal sejak di Amerika, Dr.
Farid Mustafa, seorang tokoh, Doktor Engineering. Itulah
satu-satunya pengalaman saya menjadi tamu keluarga Arab, di sini kalau makan
siang dan malam semua keluarga ikut termasuk istri. Biasanya orang Arab tidak
demikian. Saya tinggal satu minggu di situ dan berkenalan dengan banyak
pelarian Ikhwanul Muslimin.
Kita
mengetahui, Ikhwanul Muslimin umumnya beranggotakan orang-orang Mesir dan
orang-orang Syiria. Mereka dikejar-kejar oleh rezim yang ada di negaranya
masing-masing, dan kebanyakan larinya ke Saudi Arabia. Bukan
untuk mendapatkan kebebasan politik, karena di Saudi Arabia sendiri mereka
tidak mendapatkan kebebasan politik. Karena orang Saudi juga tidak suka
terhadap sikap politik mereka. Akan tetapi dari segi ilmu pengetahuan mereka
banyak sekali dihargai. Mereka kemudian
menjadi staf pengajar di Universitas Riyadh. Sejak dari Istanbul saya banyak sekali mengadakan
diskusi kritis. Tentu saya tidak mau hanya mendengarkan saja, tapi juga membantah,
menanyakan dan menentang, termasuk menentang dan segi literatur.
Di
Turki saya sampai berkenalan dengan suatu gerakan yang betul-betul di bawah
tanah, yang di Istanbul mereka itu bergerak untuk membangkitkan Islam, tetapi
dengan cara-cara yang menurut sebagian kita agak kedengaran sedikit kolot.
Yaitu melalui sufisme atau gerakan-gerakan tarekat. Suatu malam Dr. Lustafa di
Riyad mengajak saya ke Universitas Riyad; ke Fakultas Farmasi yang akan
mengadakan wisuda tamatan Fakultas Farmasi, di mana Menteri Pendidikan hadir,
yaitu Syekh Hasan bin Abdullah Ali Syekh keturunan Muhammad bin Abdul Wahab,
salah seorang pelopor pembaharuan di Arabia yang anak turunannya selalu menjadi
Menteri bidang pengetahuan seperti Menteri Pendidikan, Menteri Ilmu Pengetahuan
dan sebagainya di Saudi Arabia.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi, pokoknya Dr. Mustafa mengenalkan saya secara
berbisik-bisik kepada Menteri, lalu Menteri itu minta supaya saya menceritakan
tentang gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia. Setelah saya ceritakan, tentu
saja dengan bahasa Arab—Alhamdulillah saya sedikit banyak tahu bahasa Arab
karena belajar di pesantren Gontor, sebuah proyek gabungan antara sistem
pendidikan Sumatera Barat (KMI-nya) dan Jawa (pesantrennya) yang saya kira
menjadi proyek yang sangat sukses yang sekarang berkembang di mana-mana.
Menteri itu demikian senangnya dengan keterangan saya, lalu mengundang 10 orang teman kita, HMI,
untuk naik haji tahun itu juga. Selanjutnya, dari Riyad saya ke Madinah, terus
ke Mekkah, kemudian ke Kharthum untuk bertemu dengan Dr. Hasan Turabi dari Umin
Durman University, tokoh yang sekarang menjadi pusat perhatian di Sudan, oleh
karena dia konseptor dari Islamisasinya Numeiry yang sekarang jatuh
digulingkan. Dari situ saya pergi ke Mesir, kemudian kembali ke
Libanon dan dari situ ke Pakistan.
Pokoknya
dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya
begini: saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur
Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya
minta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar. Jawab
K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema
Islam dahulu dan sebagainya, “Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah atau
Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan fasih berbahasa Arab barangkali. Tetapi
paling-paling kamu akan jadi lebai, kalau pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamu
ingin mengetahui Islam secara intelek, lebih baik di sini. Belajar sama saya.” Dan saya setuju dengan pendapat K.H. Agus Salim.
Padahal
di sini, di Indonesia, kita sudah bergumul dengan Marxisme, dengan macam-macam
di sini. Indonesia adalah tempat pergumulan ideologi yang paling seru pada
zaman Orde Lama, dan kita survive.
Kita sudah biasa berdialog dengan orang-orang komunis dengan forum-forum
mereka, bukan forum-forum kita. Oleh karena itu kita lebih banyak terlatih dari
pada orang-orang yang saya temui di negara-negara Timur Tengah berkenaan dengan
cara melihat apa yang paling relevan dalam Islam yang harus kita kembangkan.
Sampai-sampai waktu di Riyad, dengan Dr. Mahmud Syahwi namanya, salah satu
tokoh Ikhwanul Muslim, ketika saya merasa jengkel dengan kekecewaan saya, saya
bilang begini saja, “Dari pada Anda kuliahi saya dengan macam-macam yang tidak
masuk akal saya, lebih baik anda kasih saya bahan bacaan yang menurut anda
paling penting dan kalau saya membacanya saya mendapat jawaban”. Lalu saya
diberi buku berjudul Majmu Rasail Hasan
Al-Banna, kumpulan tulisan risalah-risalah Hasan Al-Banna, yang waktu itu
buku terlarang di Saudi Arabia. Buku itu diberikan kepada saya, sambil
mewanti-wanti, “jangan sampai ketahuan orang Saudi, karena kalau ketahuan,
Saudara akan mengalami kesulitan, ditahan dan sebagainya. “ Akan tetapi saya
senang sekali menerima buku itu dan kemudian saya baca.
Waktu
di Mekkah saya menggunakan waktu paling banyak dua minggu, saya baca semuanya.
Akan tetapi maaf saja, saya tidak mendapat kelebihan dari tulisan-tulisan orang
itu. Ya, dengan segala kekaguman saya kepada Hasan Al-Banna, tetapi harus
banyak sekali tidak setuju dengan isinya. Slogan-slogan loyalistik itu
kebanyakan. Jadi isinya slogan-slogan loyalistik. Bukan pemecahan masalah. Oleh
karena itu, saya tidak merasa begitu sesuai dengan buku itu. Kemudian di Mekkah
saya berusaha untuk mengkhatamkan al-Qur’an dengan terjemahan dalam bahasa
Inggris untuk pengecekan. Kemudian setelah melakukan berbagai diskusi tadi,
saya lihat beberapa hal yang relevan untuk kita. Sampai sekarang al-Qur’an itu
saya simpan dan saya coreti dengan komentar-komentar saya.
Kemudian
saya ke Sudan dan pulang. Dan ketika mendengar janji Mentri Pendidikan Saudi
Arabia untuk naik haji itu saya memang diingatkan oleh Dr. Mustafa, orang di
ibukota Riyad itu. “Ini janji Arab,” katanya. “Oleh karena itu, anda harus rajin
menagih”. Jadi, ketika sampai di Mekkah, saya mengirimkan surat. Saya sampai di
Madinah, juga begitu. Dan akhirnya alhamdulillah, terealisir. Akhirnya Januari
1969 saya pulang ke Indonesia untuk kemudian sibuk untuk merealisir janji dari
Mentri Pendidikan Saudi Arabia itu untuk naik haji yang waktu itu jatuh bulan
Maret. Berarti Cuma ada waktu satu bulan, jadi habislah waktu saya untuk
menyiapkan teman-teman naik haji. Sampai di sana, semua teman ikut sakit karena
tidak cocok dengan makanan kecuali saya. Kebetulan saya
sudah terbiasa dengan masakan orang sana. Sampai Zaitun yang disebut di dalam
Al-Qur’an saya makan. Karena perlu diketahui bahwa buah walaupun tidak enak dan
agak pahit bagi yang belum biasa gizinya tinggi sekali dan dapat menghilangkan
rasa mual sebagainya. Dan saya mendapat service
dan seseorang di kedutaan San Fransisco, seorang novelis yang terkenal di
Amerika bernama John Ball, yang salah satu bukunya difilmkan dan mendapat
hadiah besar. Dia mengatakan begini, “Saudara harus tahu, berkat Zaitun inilah
orang Yunani dahulu berfilsafat. Karena Zaitun itu tanaman yang tahan lama
sekali dan tetap berbuah.” Pohon itu bisa ribuan tahun bertahan, dengan buahnya
yang begitu tmggi, sehingga orang Yunani itu dulu boleh dikatakan tidak lagi
memikirkan masalah sumber gizi yang tinggi. Cukup menanam zaitun saja dan
sampai sekarang zaitun merupakan komoditi yang penting negara-negara seperti
Italia Yunani dan sebagainya.
Setelah
pulang dan haji, saya ingin menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam.
Seluruh keinginan saya untuk bikin NDP saya curahkan pada bulan April, untuk
bisa dibawa ke Malang pada bulan Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan
kesimpulan saya dan perjalanan yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga
bulan lebih itu. Jadi sama sekali salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu adalah
pengaruh kunjungan di Amerika. Begitulah singkatnya cerita. Namanya saja NDP,
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Tentu saja bahannya itu macam-macam. Saya ingin
menceritakan, mengapa namanya NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan
saya sendiri berpikir untuk memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam, Akan
tetapi setelah saya berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar Islam, maka klaim
kita akan terlalu besar. Kita terlalu mengklaim inilah Nilai-nilai Dasar Islam.
Oleh karena itu, lebih baik disesuaikan dengan aktivitas kita sebagai
mahasiswa. Lalu saya mendapat ilham dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy
Eicher, seorang ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The Fundamental Values and Basic Demand of
Democratic Socialism. Nilai-nilai Dasar dan
Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat. Nah, ini ada “nilai-nilai dasar”.
Kemudian “perjuangan”-nya dari mana? Dan karya Syahrir mengenai ideologi
sosialisme Indonesia yang termuat dalam Perjuangan
Kita. Dan
ternyata Syahrir juga tidak orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku
Hitler, Mein Kamf. Jadilah
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa ke Malang, ke
Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak sulit dibicarakan karena
persoalannya demikian luas hingga tidak mungkin suatu Kongres membicarakannya.
Lalu diserahkan pada kami bertiga; Saudara Endang Saifudin Anshari, Sakib
Mahmud dan saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir NDP, yang namanya diubah
lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai Identitas Kader).
Inti NDP :
Beriman, Berilmu, Beramal
Kalau teman-teman melihat NDP, tentu saja
dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Yang pertama “Dasar kepercayaan”,
Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan Takdir”. ini tentu saja
banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus Salim; Filsafat tentang Tauhid, Takdir
dan Tawakal misalnya. Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan”,
atau “Individu dan Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan “Keadilan Ekonomi”, “Kemanusiaan
dan Ilmu Pengetahuan”, lalu kesimpulan dan penutup. Saya tidak akan menerangkan
semua NDP. “Dengan demikian sikap hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu
beriman, berilmu dan beramal”. Ya, biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah
menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa
makna beriman, berilmu, beramal, saya kira itu telah menjadi kata-kata harian.
Saya
kira hidup beriman, tentu saja personal,
pribadi sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari, tidak bisa tidak harus
punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh
karena iman disitu adalah sandarn nilai kita. ini kemudian diungkapkan secara
panjang lebar dalam bab Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki
kepercayaan. Di situ, misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada
manusia, yang dikembangkan dalam Syahadat La
illaha ilallah. Tiada Tuhan melainkan Allah. Di sini
kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi dan afirmasi. Jadi
tidak ada Tuhan melainkan Allah. Mengenai soal ini, saya prnah terlibat dalam
polemik tentang Allah ini, bisa tidak diterjemahkan dengan Tuhan? Saya berpendapat bisa, tapi banyak sekali orang berpendapat tidak bisa.
Kemudian ada polemik yang saya tidak begitu suka.
Memang
para ulama berselisih mengenai makna Allah ini. Maksudnya ada yang berpendapat
bahwa Allah ini suatu isim jamid,
yaitu bahwa memang Allah itu begitu adanya yang berpendapat bahwa ini
sebetulnya berasal dan al-ilaah.
kemudian menjadi Allah. Jadi menurut mereka yang berpendapat isim jamid tidak dapat diterjemahkan
Allah. Allah tetap Allah. Dan itu banyak pengikutnya.
Buya
Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika ditanya orang, “Mengapa Buya
Hamka suka bilang Tuhan, kan tidak boleh? Dan mengapa suka bilang sembahyang,
bukan sholat?” Hamka menjawab, “boleh, sebab Allah itu memang Tuhan, dan sholat
juga bisa diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau mengutip bahwa dulu di
Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan Dewata Raya dan para ulama tidak
keberatan.
Tapi
sebelum Buya Hamka atau orang Indonesia, yang menghadapi masalah terjemahan ini
ialah orang Persi sebetulnya. Sebab bangsa Muslim yang pertama bukan orang Arab
itu yang besar adalah orang Persi. Memang sebelum itu orang Syiria, Mesir,
semua bukan Arab. Tetapi mungkin karena latar belakang kultural mereka itu
tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama sekali. Sehingga orang Mesir
sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka semua menjadi orang Arab. Termasuk
Khadafi yang keturunan Kartago, itu juga menjadi orang Arab. Kalau dari sejarah,
Khadafi itu lebih dekat dengan orang-orang Yunani, orang Romawi dan sebagainya
sebagai keturunan Kartago. Libya bukan tempatnya orang-orang Kartago dulu dan
mereka itu lebih banyak orang-orang Quraisy. Tetapi mereka menjadi Arab dan
berbahasa Arab. Maka yang disebut bangsa-bangsa Arab itu, secara darah
sebetulnya sebagian besar bukan orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa
Arab.
Bangsa
Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai sekarang tidak berhasil di-Arabkan
adalah bangsa Persi. Padahal secara geografis itu paling dekat dengan dunia
Arab. Mengapa? karena latar belakang kebudayaan Persi yang besar itu, sehingga
mereka tidak bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa Persilah yang pertama
kali menghadapi masalah terjemahan ini Sebab Islam datang dengan berbahasa
Arab. Sehingga mazhab Hanafi yang Abu Hanifah itu sendiri orang
Persi—berpendapat, sembahyang dalam terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang Persi selalu menggunakan Khoda untuk Allah. Kita mengetahui
bahwa bahasa Persi itu adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman, Inggris dan
Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan menjadi Khanih-e Khoda. Maka dari itu, ketika
zaman modern sekarang ini dan umat Islam mulai menyebar ke mana-mana termasuk
ke negeri-negeri Barat, maka ada persoalan, yaitu kalau Qur’an diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana menerjemahkan? Apakah Allah harus
diterjemahkan menjadi God, ataukah tidak. Itu sudah ada dua pendapat. Misalnya, The Meaning of the Glorious Qur’an tidak
menerjemahkan perkataan AlIah. Sama sekali tidak. Tetapi sebaliknya Yusuf Ali
yang orang Pakistan, yang tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami
di Mekkah, menerjemahkan Allah dengan God Sehingga dalam terjemahan dia, itu
tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi “God” semua. Dan Khomaeni yang sekarang mendirikan negara Islam di
Iran, Konstitusinya dalam versi bahasa
Inggris, menerjemahkan la ilaaha
illa-Allah dengan “there is no god
but God.” Ini penting, mengapa ulasan ini agak panjang karena ada
implikasinya. Yaitu salah satu problem kita di Indonesia ini ialah bahwa
tradisi intelektual Islam kita masih muda sekali, sehingga orang sering
kehilangan jejak, akhirnya bingung. Buku Yusuf Ali yang saya beli di Mekkah
yaitu ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur Tengah
diberi pengantar dari sekjen Rabihtah Alam Islami. Kita
bisa melihat sekarang di sini misalnya perkataan Ia ilha iila-Allah bagaimana diterjemahkan. Begitu juga dalam
tafsir Muhammad Asad atau dalam Konstitusinya Khomeini. Kita boleh tidak setuju
dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobi. Justru bobot NDP sebetulnya untuk
menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri berada di tengah umat manusia.
Jadi kita ini harus Muslim di tengah
umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara juga tahu
bahwa saya selalu mengatakan tidak setuju dengan sensor. Orang
boleh tidak dengan tidak setuju dengan suatu paham, tetapi jangan menyensor.
Karena
itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu
diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa. Khomeini saja bisa
kok, mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh
Rabitah Alam Islami. Jadi tiada Tuhan dengan t kecil (tuhan), kecuali Tuhan itu bisa. Waktu itu saya tidak tahu,
bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini, sehingga ketika saya terlibat
dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka rela memberikan kepada saya
copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui surat menyurat. Dan
sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab Masalah-masalah Agama.
Dalam psikologi agama ada yang disebut convert complex. Convert
artinya orang yang baru saja memeluk agama. Lalu kompleks, perasaan sebagai
agamawan baru. Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang
pada agama, lalu menjadi fundamentalistik sekali.
Nah,
karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu rapuh, kita sering
kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita menyangkut dua orang Minang: H.
Agus Salim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana,
seorang yang mengaku sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik, oleh
karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan persoalan
pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di dunia Islam Ghazali yang
menang dan di dunia Barat Ibnu Rusd yang menang, maka akhirnya Ibnu Rusd yang
menjajah Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah
Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa? Ghazali mewakili mistisisme,
intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.
Ada
betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak Takdir konon menggugat
H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak Haji, pak haji ini kan orang terpelajar
sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?”
Lalu dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa?“. “Maksud saya, sebagai
orang terpelajar saya tidak nembenarkan sesuatu kecuali kalau saya paham
betul”. Betul, memang begitu. Qur’an sendiri menyatakan begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita
sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi masalah iman
itu adalah bagian dari pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional
kita. Rupanya Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim membuat jawaban
yang lucu dan benar. Dia bilang begini, “Begini aja deh,
Takdir kan orang Minang. Kan suka pulang ke Minagkabau, pulang ampung, naik
apa?” “naik kapal” jawab Takdir. Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat,
pesawat belum begitu banyak. “Nah kata Agus Salim, “Kamu naik kapal itu
menyalahi prinsipmu “Kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham
seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik kapal, adalah kalau sudah paham
tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu. Termasuk bagaimana kapal dibikin,
bagaimana menjalankannya bagaimana kompasnya, bagaimana ini dan sebagainya. Nah
begitu ketika kamu menginjakkan kaki ke geladak kapal Tanjung Priok, itu kan
sudah ada masalah iman. Kamu percaya kepada nakhoda, kamu percaya kepada yang
bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian
tenggelam. Percaya, percaya dan semua deretan kepercayaan
Agus
Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal.
Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu.
Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang begini,
“Seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu hai Takdir, mustinya kamu
pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling
memungkinkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak
tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham,” katanya. Lalu ini yang menarik,
“nanti kalau kamu berenang, di Selat Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu
akan berpegang pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan berpegang
pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. Akan tetapi kalau kamu ketemu ranting, itupun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang kuning juga kamu pegang”. Itu kata Agus Salim.
Nah
inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik orang sering kehilangan jejak,
sering kita berpegang kepada suatu masalah secara harga mati. Padahal itu ranting, kalau kita pegang akan tenggelam lagi kita nanti. ini
maksud saya. Jadi kembali lagi pada laa
ilaaha illa-Allah di sini memang ada diIema. Dilemanya, sebagaimana sudah
menjadi kenyataan, manusia itu hidup tidak mungkin tanpa kepercayaan. Terlalu
banyak Tuhan. Itu problemanya. Jadi sebetulnya kalau kita membaca al-Qur’an,
problemnya itu bukan bagaimana membikin manusia percaya pada Tuhan, tetapi
bagaimana membebaskan manusia dari percaya kepada terlalu banyak Tuhan. Karena
itu memang ada tema ateisme dalam al-Qur’an yaitu dahriyyah tapi kecil sekali. Ateisme itu satu hal yang tidak
mungkin. Justru yang ada dan sangat banyak terjadi pada manusia ialah
politeisme. Problema manusia sebetulnya bukan ateisme yang utama, tetapi
politeisme. Oleh karena itu tema-tema al-Qur’an itu yang dicerminkan dalam
perkataan laa ilaaha ila-Allah, ialah
usaha dan ajaran menghancurkan politeisme. Dan kalau nenghancurkan politeisme
kita pergunakan politeisme dalam bahasa sekarang, akan berbunyi, “bebaskan
dirimu dan belenggu-belenggu yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab semua
kepercayaan dan sistem kepercayaan itu membelenggu. Tetapi kalau manusia tidak
memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena itu harus ada
kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak
membelenggu kita, bahkan nenyelamatkan kita. Itulah kepercayaan kepada Allah,
satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the
High God, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang merupakan mitologi. Orang
Yunani kuno itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus itu nama dewa dalam mitotologi
mereka. Orang Mesir, Ra, kemudian orang India, Indra.
Jadi
masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai
kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu banyak yang dipercayai, akan menjerat manusia
sendiri, dan tidak akan banyak membuat kemajuan. Sementara itu manusia tidak
mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh karena itu dari sekian banyak kepercayaan
harus disisakan yang paling benar, yaitu la
ilaaha ha-Allah ini. Ini keterangan yang banyak sekali, akan tetapi saya
mau meloncat sedikit kepada isolasi agama.
Agama
Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan Kristen yang disebut agama
Ibrahim. Nah, kita masih mewarisi ajaran Nabi Ibrahim, yaitu Inni Wajjahtu wajhia lillàdzi
Fatharassamawati wal ardha, Hanifam muslima wama ana minal musyrikin. Itu
suatu pernyataan Ibrahim setelah “eksperimennya” dalam mencari Tuhan. Itu dalam
aI-Qur’an yaitu ketika Ibrahim melihat bintang itu hilang, dia bilang, ah,
tidak mungkin Tuhan kok tenggelam, ini bukan Tuhan.. Setelah melihat bulan,
kemudian mendapatkan matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah Tuhan.
Pokoknya setelah eksperimen melalui bintang, bulan, matahari, yaitu
gejala-gejala aIam. Kalau di sini ada masalah pembebasan, masalah negatif,
masalah karena manusia itu cenderung untuk menjadikan apa saja yang memenuhi
syarat sebagai misteri/sebagai Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu
yang mengandung kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu. Kalau sebuah
gunung yang setiap kali meletus dan membawa bencana tidak bisa diterangkan oleh
orang, maka mereka melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah
akar tentang syirik sebetulnya.
Jadi,
syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali kita sudah mempelajari
bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena
itu, mitologi secara bahasa lain boleh dikatakan sebagai kecenderungan manusia
untuk menuju sesuatu yang tidak dipahami. Begitulah kira-kira. Pemimpin yang
kita agung-agungkan, akhirnya berkembang menjadi mitologi terhadap pemimpin
kita itu. Nah, kalau kita menganut mitologi, maka suatu mitos itu
pasti menjerat kita. Kalau misalnya, kita memitoskan gunung, maka tertutup
kemungkinan bagi kita mempelajari apa sebetulnya hakikatnya. Gunung itu mengandung sebuah kekuatan misterius, yang
setiap kali meletus akan menghancurkan sekian banyak orang, sawah ladang dan
sebagainya. Oleh karena itu pendekatan kita kepada gunung itu mengarah kepada
pendekatan keagamaan; disembah. Nah, itulah contoh mitologi yang menyeret kita.
Jadi
artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu objek untuk diteliti secara
ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya, melihat itu sebagai sesuatu yang
biasa, tidak lagi mengandung misteri. Begitulah kira-kira. Sebab untuk syarat
sebagai tuhan haruslah misteri, tidak bisa dipahami. Jangan lupa bahwa kita
masih banyak mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu diandaikan
bintang-bintang atau benda-benda langit. Jadi yang paling besar adalah
matahari, kemudian yang kedua adalah rembulan, kemudian bintang seperti mars,
venus dan sebagainya. Itu sebabnya kemudian orang-orang Babilonia menyediakan
setiap hari satu tahun. Nah, itu masih bisa dilihat sampai sekarang. Misalnya
namanya dalam bahasa Inggris, seperti Sunday, itu artinya hari matahari. Waktu
itu orang menyembah matahari. Monday artinya hari rembulan. Kalau dalam bahasa
Francis itu lebih kentara lagi: Mardi
(hari mars), Mercredi (hari
merkurius), Jeuvi (hari jupiter), Vendredi (hari venus), Saturday (hari saturnus).
Baru
ketika bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah bertauhid yang dimulai oleh
Ibrahim mengambil alih, mitos itu dihapus dan kemudian nama hari yang tujuh
diganti dengan angka. Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu, dua, tiga, dst.
tapi hari Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya kalau Ibrahim dahulu itu
ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk menyembah bintang, itu
sebetulnya karena ia memang orang Babilonia. Tapi kemudian lihat kesimpulannya,
ketika matahari tenggelam, dia bilang “ah masa tuhan tenggelam “Nah, lalu
diapun bilang, “Inni wajjahtu wajhia
lilladzi fatharassamaawaati wal ard”. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu
bersujud kepada matahari dan rembulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang
menciptakannya.”
Nah,
jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum seluruhnya kita pahami,
artinya masih mengandung misteri, ada potensi untuk paham. Karena itu matahari
tidak akan memenuhi syarat sebagai Tuhan, karena suatu saat akan dipahami
manusia. Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita bisa melihat mengapa
Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan
tanda-tanda-Ku seluruh cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga
terlihat bagi mereka bahwa Allah itu benar”. Artinya, orang akan haqqul yaqin bahwa Allah itu benar bila
seluruh alam ini sudah dipahami, bisa dipahami, sehingga tidak tersisa misteri
lagi. Dengan perkataan lain bahwa Allah itu Allah, oleh karena itu yang tidak
bisa dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia,
dan sebetulnya konteks ketuhan menurut Tauhid itu adalah konteks mengenai
misteri, laisa kamislihi syai’un
(tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi
Dia tidak bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak.
Perkataan memahami Tuhan itu kontradiksi inter-minus.
Sebab memahami berarti mengetahui batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan
berarti sudah apriori bahwa Tuhan terbatas, terjangkau oleh kita.
Oleh
karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia tidak dapat dipahami. Sebetulnya
ini kontroversi yang lama di kalangan umat Islam. Yaitu antara Mu’tazilah dan
Asy’ary mengenai isu mengenai apakah manusia itu bisa melihat Tuhan atau tidak,
di surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap tidak bisa, sedangkan menurut
asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila kaifa, tanpa bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak
ada perbedaan. Kalau tanpa bagaimana berarti tanpa bisa diketahui sendiri.
Mengetahui tanpa bisa diketahui. Mengetahui tanpa bisa mengetahui bagaimana
mengetahui itu. Itu bila kaifa dari sistem Asy’ariyah yang banyak dianut sebagian dari
kita yang berpaham Sunni.
Yang
jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang dominan itu bukan tentang
mengetahui Tuhan, tapi mendekatkan. Jadi taqarrub itu,
mendekati Tuhan. Allah asal tujuan dan segala yang ada dalam hidup ini. Oleh karena itu, perjalanan hidup kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka
dan itu sebutlah di sini dalam bahasa yang sedikit kontemporer : kesadaran
mengorientasikan hidup kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh perbuatan kita
haruslah Lillaahi ta‘ala. Jadi justru harus menuju pada Allah Subhanahu
Wata’ala. Dan ini yang kita ungkapkan dengan berbagai ungkapan, termasuk ridha,
ridhallah. Dalam al-Qur’an disebutkan “mencari muka Tuhan”. Jadi kita itu memang
mencari muka, yaitu mencari muka Tuhan, artinya bagaimana melakukan sesuatu
yang berkenan pada Tuhan, mendapatkan ridha-Nya.
Kita
menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub
kepada Allah. Nah, kita mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman itu dinamis,
bisa berkurang dan bisa bertambah. Artinya dinamis, sebab manusia itu dengan
segala keterbatasannya kemungkinan besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu
dia harus mengikuti garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah,
yaitu Al-shshirot al-mustaqiim. Jalan
yang lurus, lurus itu terhimpit dengan hati nurani kita, dengan fitrah kita.
Sudah banyak sekali diterangkan dalam NDP tentang peranan hati nurani yang
kadang-kadang disebut juga dhamier
dan sebagainya itu. Dhamier, fitrah
atau hati nurani itu adalah kesadaran yang dalam pada diri kita tentang apa
yang baik dan buruk, dan apa yang benar dan salah. Itu tentu saja tidak bisa dibiarkan sendirian,
tapi harus ditolong oleh suatu ajaran. Di sini kemudian ajaran agama untuk
menguatkan apa yang ada pada hati nurani. Oleh arena itu menurut Ibnu Taymiyyah
agama itu tiada lain adalah fitrah yang diwahyukan, atau fitrah yang
diturunkan. Selain ada fitrah yang diciptakan pada diri kita, juga ada fitrah
yang diwahyukan. Itulah agama. Jadi artinya agama itu adalah fitrah yang
diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu Wataala, untuk memperkuat fitrah
yang ada dalam diri kita sendiri. Mungkin teman-teman juga pernah mendengar
Robinson Cruso.
Robinson
Cruso adalah novel yang dikarang Daniel Deboe, menceritakan tentang seseorang
yang terdampar di pulau dan hidup sendiri dengan segala romantikanya. Itu sebetulnya adalah plagiat dari seorang filsuf
muslim, namanya Ibn Thufayl Yaitu suatu karya yang namanya Al-Hay, Ibnu Yaqdzan. ” Orang Hidup, Anak kesadarannnya sendiri.”.
Ini sebetulnya sebuah kisah filosofis berdasarkan konsep tentang fitrah itu.
Karena manusia itu—seperti dikatakan oleh hadits “alwaladu yuladu ‘ala al-fitra”‘ dilahirkan dalam keadaan suci.
Maka seorang filsuf Muslim ini membuat hipotesa kalau seandainya manusia itu
hidup dengan konsisten mendengarkan kesadarannya sendiñ dan bebas dan polusi
budaya, polusi kultural (orang ini dikatakan bagai hidup di sebuah pulau
sendirian). Kalau orang ini masih seperti itu, dia akan menjadi manusia
sempurna: insan kamil, maka
sebetulnya novel ini yang berurusan dengan persoalan insan kamil dalam konsep sufi itu. Inilah yang diplagiat oleh
Daniel Deboe dan menjadi Robinson Cruso. Sebetulnya ada urusannya dengan fitrah
ini.
Jadi
fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama ini yang kemudian memberi
kesadaran tentang bagaimana Allah itu harus dipersepsi, misalnya dengan
ayat-ayat dan Tauhid dan sebagainya itu. Dan manusia harus berjalan pada jalan
ini menuju kepada Allah. Tapi karena Allah itu
mutlak, maka Dia bakalan tidak bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai
Tuhan dalam arti menguasai. Sebab itu akan berarti Tuhan itu terbatas. Jadi
kontradiksi lagi dengan pemutlakan Tuhan. ini mempunyai implikasi bahasa
kebenaran yang ada pada benak manusia itu tidak pernah merupakan kebenaran
mutlak, sebab keterbatasan kita. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kebenaran
yang ada dari kita itu lalu kita buang begitu saja, karena relatif. Itu
tidak bisa tidak. Misalnya saja kita
dari Jakarta mau ke Bandung. Tentu saja
sebagai analogi, Bandung menjadi tujuan kita. Tapi dari Jakarta tidak bisa
begitu saja kita loncat ke Bandung. kita harus melalui Cibinong, melalui Bogor,
melalui Puncak dan sebagainya. Nah itulah yang kita alami dalam hidup, yaitu
Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai Padalarang dan sebagainya. Akan tetapi tidak
berarti karena itu kita tahu Cibinong bukan Bandung maka sudahlah kita tak usah
ke Cibinong karena tujuannya Bandung. Soalnya ialah Bandung tidak bisa dicapai,
kecuali melalui Cibinong. Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai kecuali dengan
eksperimen relatif, kecuali dengan mengalami kebenaran-kebenaran relatif. Jadi
kebenaran relatif apa pun yang kita alami, itu harus kita pegang, tetapi karena
pada waktu yang sama kita tahu bahwa ini kebenaran yang relatif, maka kita
harus nemegangnya sedemikian rupa sehingga harga tidak mati. karena kita tahu
Cibmong bukan tujuan kita, Cibinong harus kita lewati, tetapi kita harus segera
menuju Bogor, segera menuju ke Puncak, ke Padalarang dan seterusnya.
Nah,
oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak terus menerus. Itulah
sebabnya mengapa agama itu, agama Islam terutama, selalu dilukiskan sebagai
jalan. Ini penting sekali. Kita melihat,
agama Islam itu dulu selalu disebut sebagai jalan. Shirat itu artinya jalan. Kalau ada dongeng al-shirot al-mustaqim itu adalah titian rambut dibelah tujuh yang
membentang dintara dunia dan surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal dari
Persi, dan agama Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan. Kemudian ada
lagi, maslak itu juga jalan. Jadi
agama itu dilukiskan sebagai jalan oleh karena mendekati Tuhan itu tidak harus
sekali jadi, tetapi harus berproses. Dalam proses inilah pentingnya ijtihad.
Maka dari itu kemudian ijtihad harus terus menerus dilakukan. Karena, Tuhan
tidak pernah bisa untuk dicapai tapi kita harus dituntut untuk mendekatkan diri
pada Tuhan, semakin dekat, maka ada proses dinamis, dan itu jadi ijtihad.
SebetuInya
akar ijtthad itu ialah j, h, dan d. Jadi sama dengan jihad. Satu akar
kata dengan jihad. Satu akar juga dengan juhd,
juga dengan mujahadah, yang semua itu sebetulnya sama dengan jihad. Jadi mengandung makna bekerja keras, bekerja dengan sungguh-sungguh.
Mujahadah. Lalu di sini, “walladziina
jaahadu fina lanah diyannahum subulana
“, Barang siapa bersungguh-sungguh berusaha untuk mendekatai Tuhan, maka akan
Tuhan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan. Nah kebetulan ke Cibubur ini tadi
saya melewati Jagorawi sedikit Jagorawi ini jalan ashshirotolmustaqim, tetapi di situ banyak jalur. Misalnya yang sudah matang dalam Islam, itu
ada jalur sufi, jalur fiqh, dll. Orang yang versi ke-Islamannya itu sufisme
apakah anda akan mengatakan bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita
tidak berhak mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.
Jadi,
masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang persepsinya teologis, mutakallimun, ada yang persepsinya
masalah filsafat dan banyak sekali jalan-jalannya menuju Tuhan ini. Juga disebutkan, jalan menuju Tuhan itu subulussalam
“berbagai jalan menuju keselamatan”. Mengapa begitu’ .Jadi dengan iman kita
mengorientasikan hidup kita kepada Allah
Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Kemudian,
berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu meskipun mengikuti al-shirot al-mustaqim dan berhimpit dengan
hati nurani kita, tapi disitu ada masalah perkembangan. Oleh karena itu harus
berilmu, harus mujahadah. Jihad atau mujahadah di sini ada kaitannya dengan
ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum
kita amalkan, kita wujudkan dalam amal
perbuatan itu. Maka dari itu ideologi misalnya, tidak bisa menjadi mutlak. Ideologi itu berkembang, ilmu pengetahuan pun berkembang, tidak ada yang
benar-benar mutlak. Lihat saja itu dulu, pada zaman
sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh. Maka sifat dua puluh itu muncul oleh
Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu bagaimana membendung pengaruh dari
hellenisme melalui filsafat Yunani, yang pada waktu itu mulai gejala mengancam
Islam itu sendiri. Maka kemudian dia tampil dengan sifat dua puluh itu.
Saya
terangkan begitu, dengan kata lain kita harus menyejarah, bersatu dengan suatu
konsep historis dan karena itu kita menjadi dinamis, terus berkembang, tidak
ada yang harga mati. Oleh karena itu, orientasi hidup kepada Allah yang dalam
bahasa agamanya beriman kepada Allah itu sering kali dalam al-Qur’an itu
dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut. Thaghut itu siapa? Thaghut itu
tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani. Tiranisme. Kenapa disebut tirani?
Yang disebut tirani adalah sikap memaksakan suatu kehendak kepada orang lain.
Oleh sebab itu, Nabi atau Rasulullah sendiri sudah diingatkan, kamu jangan jadi
tiran. “Innama anta muzakkir, lasta
alaihim biimushaitir” Hai
Muhammad, kamu itu cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa
orang. Muhammad itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga tergoda untuk
memaksakan pahamnya kepada orang lain. Lalu Allah pun turun dengan Firmannya
yang berat sekali pada surat Yunus ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau hai Muhammad, menghendaki semua manusia
tanpa kecuali akan beriman, apakah kamu akan memaksa setiap orang supaya
menjadi beriman?” Tidak boleh, sebab walaupun dia rasul Allah, kalau dia
sudah memaksa, dia sudah terjerembab ke dalam tirani. Thaghut. Tentu saja
tirani yang paling berbahaya ialah tirani politik. Artinya tirani yang asasi
betul. Oleh karena itu tokoh simbol dari pada tiranisme dalam al-Qur’an itu
selalu Fir’aun. Agama Islam adalah agama yang sama sekali tidak membenarkan
tirani, oleh karena itu salah satu konsekuensi berorientasi hidup kepada Allah
itu adalah sikap-sikap demokratis, sikap bermusyawarah dan sebagainya. Jadi,
begitu kira-kira cakupan seluruhnya itu. Titik berat argumen dalam NDP itu
sebetulnya demikian. Di dalam NDP kita tidak berbicara mengenai bagaimana orang
sholat, bagaimana orang zakat dan sebagainya, tetapi kita membatasi pembicaraan
kepada hal-hal prinsipil dan strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan
langsung mempengaruhi cara berpilkir kita, pandangan hidup kita.
sumber dari konstitusi hasil kongres depok
No comments:
Post a Comment