by danang nurdiansah
PT Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Sekarang menurut data ICW, pembayaran royalti Freeport untuk tembaga cuma 1,5%-3,5%, sementara emas 1%, dan perak 1%. Padahal harusnya menurut PP 13 tahun 2000 tarif royalti tembaga 4%, Emas 3,75%, Perak 3,25%.
Kontrak karya
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.
pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini menjadi penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Kontrak Karya I mengandung banyak kelemahan mendasar dan sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup saat itu, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, misalnya, Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat.
Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal antara lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.
Di samping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.
Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by product ini, karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Pemerintah sok g tau dengan kemiskinan di papua
pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM
Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua.
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50 persen lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua ke depan.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
daftar pustaka
[] Kompas.com
[]tarungnews.com
No comments:
Post a Comment